Sekedar Pengantar
PAST, PRESENT, FUTURE

Berangkat dari keinginan kami untuk memiliki suatu pusat data film di Semarang, yang berisi koleksi beragam film dari berbagai genre, biografi film hingga sedetil mungkin, maka terwujudlah even Semarang International Film Festival untuk kedua kalinya. Perhelatan ini akan diselenggarakan di Auditorium RRI dan Hotel Santika.
Bersama dengan Djarum Black On Screen yang memiliki visi yang sama dalam pengembangan film alternatif, kehadiran event ini diharapkan dapat memicu semangat berkarya bagi sineas daerah dalam menghasilkan suatu karya film yang dapat dinikmatii bersama serta menambah maraknya kegiatan kesenian dan kebudayaan di Semarang.
Di era otonomi ini, kemandirian daerah dalam menciptakan berbagai manifestasi penting untuk meningkatkan investasi jangka panjang, sangat diperlukan. Jakarta boleh saja ada Jiffest. Namun, perlu diingat pehelatan semacam International Film Festival ini tidak serta merta menjadi monopoli sepihak. Di Amerika Serikat, penyelenggaraan even ini hampir ada di setiap negara bagian. Malah bisa dikatakan menjadi ujung tombak dalam mengenalkan aset periwisata di daerah setempat kepada para filmmaker yang ikut dalam even tersebut. Agaknya kami ingin sekali mengubah trendsetter Jakarta-sentris dengan suasana yang khas Semarang. Dapatlah dikatakan ini sebagai sebuah revolusi budaya, dimana tidak ada lagi sebuah subyek atau obyek yang dijadikan acuan tren.
Keterbatasan daerah dalam menyelenggarakan event berskala internasional ini jangan dijadikan sebuah hambatan yang berarti. Sumbangsih, perhatian dan keseriusan daerah dalam mengembangkan even ini menjadi suatu hal yang mutlak. Tidak hanya dukungan moril, doa dan dana, namun juga diperlukan kemudahan perijinan, fasilitas, pembebasan pajak dan segala sesuatu yang menjadi momok bagi kegiatan kesenian dan kebudayaan terutama di Semarang.
Di lain hal, partisipasi para filmmaker terhadap penyelenggaraan even ini juga menjadi hal yang utama. Sungguh tidak mudah mendapatkan simpati /ijin pemutaran dalam event ini. Hambatan yang kami rasakan adalah ternyata mendapatkan ijin dari para filmmaker di Indonesia sangat sulit sekali daripada mencari film asing dari luar negeri. Agaknya, para filmmaker kita terlalu mem-protect film tersebut dan rata-rata telah terikat kontrak dengan pihak lain. Ini butuh kesadaran dari kedua belah pihak dalam hal ini panitia penyelengga dan filmmaker itu sendiri.
Oleh karenanya, simpul perfilman daerah yang telah terbentuk melalui sebuah jaringan kerja forum film independen, harus selalu dihidupkan dengan berbagai kegiatan apresiasi dan permbuatan film, jika perlu dengan pendidikan workshop film. Jangan hanya menjadi sebuah isapan jempol belaka, dimana tidak ada suatu kegiatan yang secara siginifikan dapat membangkitkan gairah berfilm di masing - masing daerah. Oleh karenanya, para filmmaker nasional maupun lokal hendaknya tersadar pula akan hal ini. Hilangkan sifat chauvinisme, bangun sebuah fondasi perfilman nusantara yang berawal dari simpul perfilman di daerah.
Satu hal lagi, saat ini film bukan lagi milik lembaga perfilman, sutradara nasional, pemerintah, namun film telah menjadi milik rakyat. Pendidikan film secara sehat bermula dari sekedar apresian murni yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Saatnya pula bagi kebangkitan dunia apresian terhadap film-film alternatif muncul di daerah. Segala pembodohan masyarakat melalui film Hollywood hendaknya mulai dienyahkan. Sensor bukan suatu yang mutlakm meski itu adalah suatu keharusan.
Apabila segala hal diatas mampu dilaksanakan niscaya kehidupan bersinema akan kembali riuh. Akhirnya segala harapan kami baru dapat terwujud melalui even ini. Semoga apa yang kami lakukan mendapatkan keseriusan dari berbagai kalangan. Sekali lagi menonton film bermutu adalah hak asasi.

Ali Imron Hamid
Kronik Kine Klub Semarang

Designed by : Hasto Suprayogo (Noodle Design 2002)